Senin, 25 Februari 2013

Greja dan Budaya Ibarat Rel Kereta




Sumber:
http://museumpusakakaro.blogspot.com
        Sejarah pernah mencatat masa-masa kejayaan gereja Asia. Diama perkembangan kebudayaan gereja, teologia, dan pelonjakan jumlah jemaat yang signifikan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa pada abad ke-15 Masehi terjadi kemerosotan yang radikal terhadap keberadaan gereja-gereja di Asia, bahkan hampir lenyap dari benua kulit berwarna ini. Jika kita menelaah Alkitab, banyak gereja-gereja yang disebutkan di Asia kecil kini tidak ada lagi. Turki, yang dulunya pernah menjadi rumahnya gereja-gereja berkembang kemudian menjadi gereja terbesar yang disebut Konstatinopel kini menjadi negara 1001 masjid.

            Dalam buku “Konteks Bertheologi” karangan Pdt., Drs. Edi Suranta Ginting, M. Th., M. Div., dikatakan, tiga penyebab utama terjadinya kemerosotan kekeristenan di abad ke-15. Pertama, gereja tidak lagi memberitakan injil, mungkin karena dilarang oleh penguasa yang bukan Keristen, maupun alasan theologis dan politis lainnya, bahkan karena gereja terlalu sibuk dengan urusan birokrasi organisasi gereja. Kedua, karena orang-orang Kristen lebih bodoh dan lebih miskin daripada orang-orang yang bukan Kristen. Tiga, karena kekeristenan tidak berakar pada budaya lokal ataupun setempat.

            Di Kartago, Aljazair(sekarang) dimana merupakan tempat lahirnya tiga teologi besar gereja, yakni: Cyprianus, Tertulianus, dan Agustinus juga mengalami hal demikian, dimana gereja yang tumbuh dan berkembang tidak berakarkan pada tradisi budaya setempat. Gereja Nestorian yang pernah berjaya dan pernah mendirikan bayank gereja di berbagai negara pada abad ke-7, seperti di India, Iran, Cina, dan bahkan Indonesia kini entah dimana.

Ini sangatlah tampak nyata dan juga terjadi pada gereja-gereja di Indonesia. Dimana, jika kita melihat diawal-awal proses zending, para missionaris berusaha keras melakukan pendekatan sosial dan kultural agar gereja dapat akses untuk dapat semakin dekat dan diterima oleh masyarakat lokal. Unsur-unsur tradisi setempat sedemikian rupa diramu agar dapat dimasukkan dalam ritual gereja bahkan, merasuk hingga konteks teologia yang dianut gereja tersebut. Sehingga, gereja dan budaya itu ibarat rel kereta, walau terpisah dan berbeda ruang namun tetap sejalan dan seakan harus semestinya berjalan bersama, sebab jika tidak, ibarat kereta tadi tidak akan dapat berdiri tegak diatas satu rel, bahkan akan terjungkal. Demikianlah gereja dan budaya dimasa-masa mula-mula zending seakan harus sejalan agar mudan dimengerti dan diterima.

Di beberapa wilayah memang hal ini berhasil, tampak dengan keberadaan gereja-gereja suku dan gereja Khatolik inkulturisasi yang ada sekarang, walapun tidak jarang beberapa orang dan kelompok yang kurang puas dengan prinsip ritual dan teologis di gereja itu hendak menggesernya dan menerapkan konsep kembali kepada konteks teologi dan ritual gereja Barat yang dianggap lebih suci dan sesuai.

            Seiring dengan berkembangnya gereja dan pemahaman teologis yang dianutnya, maka tak jarang pemikiran-pemikirang untuk mempertentangkan keberadaan budaya dalam tubuh gereja muncul dan semakin hari semakin keras. Ada yang beranggapan ini imbas dari tumbuh dan bangkitnya semangat dan kesadaran iman, yang dimana kekafiran yang menodai tubuh gereja salah satunya tradisi lokal harus dihindari bahkan sebisa mungkin dilenyapkan dari sekitar gereja, agar semua umat tidak tersesatkan lagi oleh kekafiran tersebut. Namun, pertanyaanya, benarkan ini kebangkitan iman? Atau hanya alasan untuk menutupi kelemahan dan kegagalan gereja dalam merangkul dan menyempurnakan budaya lokal, serta menguatkan iman jemaat? Atau, kedewasaan iman yang masih dangkal imbas dari kekeristenan yang terkesan pragmatis, sehingga yang bukan saya adalah setan?

            Kini kereta lokomotif uap dengan bahan bakar batu bara diganti dengan lokomotif listrik yang lebih kencang walau masih juga melaju diatas dua rel yang sejajar. Demikian juga halnya gereja konservatif yang dianggap lamban karena terlalu memikirkan harmonisasi dengan budaya dan alam dianggap lamban dalam proses kristenisasi dunia, sehingga harus diganti dengan gereja baru. Ini-lah salah satu alasan lahirnya aliran-aliran dan reformis gereja. Gereja baru ini-lah yang seringkali berusaha keras memisahkan injil dan budaya dalam mengartikan keselarasan antara gereja dan budaya, sehingga para reformis yang terus haus dengan kemurnian gereja ini terus berinovasi dalam doktrin dan ritual untuk benar-benar mentiadakan unsur budaya dalam tubuh gereja, maka lokomotif listrik dengan dua rel tadi-pun kemudian di-upgrade dengan kereta listrik mono rel(rel tunggal) agar dapat melaju lebih kencang dan cukup berdiri diatas satu rel saja, yakni gereja yang hanya berecerita tentang ketuhanan saja.

            Cuma, muncul kembali pertanyaan. Benarkan kereta itu akan dapat melaju lebih kencang dengan aman diatas satu rel saja? Dan, nyamankah jemaat yang terbiasa duduk diatas bangku kereta dengan dua rel tetapi kini harus duduk diatas kereta dengan rel tunggal? Dan, jika kita kembali ke masa-masa kejayaan gereja Khatolik-Roma dan juga gereja Asia hingga memasuki abad ke-15 dimana kemerosotan itu terjadi, maka benarkah gereja ini menuju kemajuan atau hanya mengulang cerita lama dan kemudian suatu saat harus kembali dari titik dasar.
            Asia dan kebudayaannya diprediksikan akan berjaya dan memegang peran penting dalam segala aspek kehidupan dunia. Gambaran yang kita lihat sekarang ini, jika muncul pertanyaan siapakah yang akan memimpin(tentunya dari Asia)? Maka, perhatian akan tertuju kepada Cina, Jepang, India, Korea, dan Iran(Indonesia?). Jika kita amati negara-negara tersebut, maka bisa kita katakan mereka adalah negara yang kontekstual Asia. Sederhananya, jika kita ke pasar baik modern maupun tradisional, dengan mudah kita dapat mengidentifikasi itu orang Cina, itu orang India, dlsb. Seorang anak usia 3 tahun sudah mampu membedakan mana film Hollywood, mana film Bollywood, dan mana film Cina, Korea dan Jepang. Karena mereka kontekstual dalam segala hal. Sanggupkah anak usia 3 tahun membedakan mana film Australia, Inggris, dan Amerika? Kontekstual mereka terhadap budaya Asia membuktikan mereka sanggup bertahan dan bahkan menjadi pemeran penting dalam skenario drama dunia. Begitu juga dengan konteks dalam teologia. Asia yang lebih mengedepankan harmonisasi terkadang tampak lamban namun melaju dengan pasti seperti halnya lokomotif uap antik dengan dua rel dan memberi kesan serta kenyamanan dalam perjalanan bagi para pemumpangnya, sehingga tumbuh rasa kerinduan untuk mengulang kesan-kesan itu. Sedangkan konteks Barat yang lebih kepada eksploitasi dan tampak agresif, sampai mana akan terus agresif ? Dan, yakinkah akan sesuai dengan kita selamanya? Jangan nanti hanya memiliki kesan sementara seperti halnya menaiki kereta rel tunggal dengan kecepatan diatas 150 km/jam yang untuk melihat pemandangan disekitar jalur yang dilalui mata harus secepat kilat untuk menangkap sebuah objek dan secepat itu juga pudar dalam ingatan. Atau saat menaiki kereta listrik rel tunggal yang melaju santai di kota, dimana jika penumpang memandang ke luar hanya ada aktifitas kehidupan dibawahnya dan jika memandang ke samping hanya gedung-gedung yang tampak seperti komponen elektronik, dan jika memandang ke atas hanya ada awan kosong. Siapa yang melindas dan siapa yang dilindas, siapa yang tahu? Saat konteks Asia akan berperan, jangan sampai Asia tidak siap dan para sarjana harus kembali membuka buku pelajaran Sekolah Dasar. Mungkin saya akan memilih lokomotif listrik dengan dua rel bahkan jika masih ada kesempatan ingin melaju diatas lokomotif uap antik agar perjalanan iman ini lebih berkesan dan bertumbuh dari hati karena bayang-bayang keindahan yang dilalui selama duduk di bangku penumpang, bukan karena trend yang berkembang ataupun opini publik semata. Syalom mejuah-juah.
                 
 Baca juga:



Read more: http://arikokena.blogspot.com

Minggu, 24 Februari 2013

Gereja yang dinominasi suku Karo

Dinominasi ataupun gereja yang dinominasi maksudnya, dimana sebuah gereja sebahagian besar anggota jemaat serta pengurusnya  berasal dari satu etnis yang dominan(mayoritas). Atau bahkan gereja yang didirikan oleh satu kelompok etnis, ataupun gereja yang didirikan khusus untuk memberi pelayanan bagi satu kelompok etnis. Beriku gereja-gereja yang dinominasi oleh etnis(suku) Karo.

1. GBKP

Logo GBKP
Logo GBKP
Nama: Gereja Batak Karo Protestan; Disingkat: GBKP; Klasifikasi: Protestan; Berdiri: 23 Juli 1941; Hasil dari ZendingNederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), BelandaPimpinan: Ketua Moderamen; Wilayah Penyebaran: Indonesia; Aliran: Kalvinisme; Situs web resmi:http://www.gbkp.or.idhttp://www.gbkp.net ; e-mailsynode@gbkp.co.id; Alamat Sinode  : Jl. Kapten Pala Bangun No. 66, Kabanjahe, Kabupaten  Karo, Sumatera Utara.




2. GIKI
Logo GIKI
Logo GIKI

Nama: Gereja Injili Karo Indonesia; Disingkat: GIKI ; Klasifikasi: Gereja Injil; Berdiri: 27 Juni 1992 (baca sejarah berdirinya GIKI); Pimpinan Gereja: Ketua Majelis Sinodal; Wilayah Penyebaran: Indonesia; Hasil dari Zending: murni berdiri/didirikan jemaat Kristen Karo yang rindu dengan PI; Aliran: Injili – Kontekstual inkulturisasi; Situs web resmiFun Page GIKI ; e-mail: ....; Alamat Sinode: Jawa Barat.



Jika Anda memiliki informasi lainnya tentang gereja yang dinominasi etnis Karo untuk ditambahkan pada posting ini, Anda dapat membaginya langsung pada kolom komentar, ataupun mengirim e-mail ke: bastanta.meliala@gmail.com

               

Read more: http://arikokena.blogspot.com

Sejarah singkat berdirinya GIKI

Tentang GIKI
Gereja Injili Karo Indonesia
Logo GIKI

Gereja Injili Karo Indonesia (disingkat GIKI) adalah gereja dalam denominasi gereja Injil di Indonesia dan didominasi etnis Karo. Injilimaksdunya, dimana gereja lebih mengutamakan penginjilan. Karodipandang sebagai suku(bukan sub-suku) yang memperoleh anugrah Tuhan dengan keunikan tradisi budayanya, dan dengan budaya Karo inilah GIKI ingin menyebah Kristus.  Nusantara(wilayah Indonesia) merupakan satuan kawasan politik yang kemudian membetuk sebuah negara, yakni negara Repoblik Indonesia, dimana mengemban mandat mulia dari Sang Pencipta untuk melindungi segenap masyarakatnya.


Latar belakang pendirian GIKI
Buletin Sinalsal
Para pendiri GIKI pada umumnya adalah orang-orang yang rindu akan pekabaran injil. Gereja sebelumnya tempat mereka masing-masing bernaung dan melayani dipandang tidak lagi memberi porsi yang cukup bagi pekabaran injil, dan inilah dianggap salah satu faktor penyebab kemerosotan gereja Asia pada abad ke-13 Masehi, sehingga bercermin dari hal ini GIKI tumbuh menjadi gereja yang mengutamakan penginjilan ketimbang aturan birokrasi gereja dalam pelayanan dan tetap mencoba untuk berpegang pada budaya lokal, salah satunya budaya Karo(karena mayoritas Jemaat GIKI dari etnis Karo). Hal inilah yang dipandang turut melatar belakangi kemunculan GIKI ini baik yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dan beberapa hal-hal lainnya yang sedikit akan dibahas berikut ini.

Dinamika GBKP 1989 -1991
November 1989, Pdt. J. P. Sibero terpilih menjadi ketua moderamen GBKP yang ini dianggap menjadi angin segar bagi kegiatan penginjilan di Tanah Karo. Akan tetapi, pada Paskah 1991, tepatnya dalam Sidang BPL Sinode GBKP tertanggal 29 Maret 1991, Pdt. J. P. Sibero diberhentikan dan hal ini tentunya mendapat reaksi dari beliau sendiri(Pdt. J. P. S) dan orang yang bersimpati kepadanya.

Pada masa-masa ini, sebenarnya sudah muncul dorongan untuk mendirikan sebuah gereja yang baru, tentunya hal ini juga sempat dilontarkan juga kepada beliau(Pdt. J. P. S). Akan tetapi, beliau lebih memilih untuk melanjutkan pelayanan yang telah dirintisnya di GBKP.

Tim Ezra dan pemberhentian Pdt. B. A. Peranginangin
Tim Ezra adalah biro pelayanan dibawah naungan GBKP. Ketua tim ini adalah Pdt. B. A. Peranginangin dengan sekretarisnya Herman Peranginangin. Tim ini didirikan oleh beberapa anggota GBKP yang memiliki kerinduan untuk mengkabarkan Injil dan membangun iman jemaat dengan berbagai cara, yang dimana gereja dipandang tidak lagi memberi porsi yang cukup untuk hal penginjilan ini. Adapun kegiatan yang diemban Tim Ezra diantaranya melakukan pekabaran Injil ke daerah-daerah terpencil terkhususnya di Kabupaten Karo, bahkan di tahun 1991 Tim Ezra terlibat dalam dua kegiatan besar di Kabanjahe. Pertama adalah Kebaktian Kebangunan Iman(KKI) yang melibatkan semua denominasi gereja yang ada di Kabanjahe yang mendatangkan Pdt. K. A. M. Yusuf Roni, dan yang kedua ialah Sidang Sinode GBKP.

Ketika pengambilalihan Tim Ezra oleh Moderamen GBKP, beberapa aktifis yang selama ini bercokol di Tim Ezra mendirikan Yayasan Pekabaran Injil Taneh Karo Simalem(YPI Takasima). Hal ini disalah tafsirkan oleh pihak GBKP, sehingga Pdt. B. A. Peranginangin yang saat itu menjabat ketua YPI Takasima dan juga pendeta yang melayani di Runggun GBKP Berastagi mendapat panggilan dan peringatan dari pihak GBKP, sehingga beliau(Pdt. B. A) meminta Edi Suranta Ginting yang kala itu menjabat sekretaris YPI Takasima untuk menyusun konsep surat balasan kepada moderamen GBKP. Dan, hal ini berbuah balasan surat skorsing dari GBKP yang diantaranya berisi larangan berkhotbah kepada Pdt. B. A. Peranginangin dan akan berlanjut kepada pemberhentian beliau. Saat-saat inlah diyakini awal terealisasinya pendirian gereja baru nantinya yang diawali dengan mengadakan kebaktian Minggu di kediaman sementara Pdt. B. A. Peranginangin di Jl. Pahlawan, Kabanjahe,Kabupaten KaroSumatera Utara.

Dibawah naungan GKKI hingga pentahbisan jemaat pertama
April 1992 diadakan MoU antara pimpinan Gereja Kristen Kudus Indonesia(GKKI) dan Gereja Kristen Kudus Indonesia (GKKI) Jemaat Karo Injili(cikal bakal GIKI) tentang status sementara Jemaat Karo Injili dibawah naungan GKKI Pusat. Pada bulan Mei 1992, Pdt. B. A. Perangingangin bertemu dengan Drs. Kerani Ketaren, Ak(Pendiri GKKI) berkonsultasi tentang pentahbisan jemaat pertama di Kabanjahe. Karena memang dalam MoU antara GKKI Pusat dengan GKKI Jemaat Karo Injili ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kelak Jemaat Karo Injili akan mandiri – berdiri dalam organisasi sendiri, maka dalam proses ini tidak ada ditemukan permasalahan. Minggu, 27 Juni 1992 GKKI Jemaat Karo Injil Kabanjahe resmi berdiri dengan Pdt. B. A Peranginangin menjadi pendeta jemaatnya yang juga merupakan satu-satunya pendeta yang ada di Jemaat Karo Injili kala itu dan dilanjutkan peresmian GKKI Jemaat Karo Injil Bandung (sekarang GIKI Bandung) pada Minggu, 27 September 1992. Tanggal 27 Juni 1992 kemudian diperingati secara Sinodal sebagai hari lahirnya Gereja Injili Karo Indonesia(GIKI).
         
Kemandirian GIKI
Setelah peresmian gereja di bulan Juni(Kabanjahe) dan September(Bandung) 1992, mulai muncul rencana untuk kemandirian penuh dan dalam rangka untuk merealisasikan ini, maka pada rapat perdana pengurus Jemaat Karo Injili Bandung ditugaskan Pdt. Simon Tarigan untuk menjajaki usaha kemandirian gereja.
Langkah pertama yang dilakukan yakni berkonsultasi dengan Pembina Masyarakat(Pembimas) Kristen Protestan Provinsi Jawa Barat, Ardy Rana Yunus tentang hal-hal yang berkaitan izin pendirian gereja. Kala itu sudah muncul desas desusus bahwa Departemen Agama akan menolak izin apapun untuk mendirikan gereja baru, namun respon dan apresiasi yang sangat positif ditunjukkan Pembimas Kristen Protestan Jawa Barat tentang rencana ini yang menumbuhkan rasa optimis pada Jemaat Karo Injili.

Kelanjutan dari proses kemandirian ini, dimana pada minggu pertama dibulan Oktober 1992, diadakan rapat di sekretariat yang dihadiri Ardy Rana Yunus, Sridadi Atiyatno(Rektor Tiranus), dan semua pengurus Jemaat Karo Injili. Pembimas mengingatkan dalam rapat itu, kalau nama gereja yang akan dibuat adalah nama baru dan belum pernah dipakai oleh gereja lain. Akhirnya disepakati nama gereja yang akan didirikan adalah Gereja Injili Karo Indonesia yang disingkat dengan GIKI. Pemakaian nama ini didasakan pada dua penekanan yang dianggap penting dan harus oleh para pengurus dan jemaat GIKI, yakni kata "Karo" dan "Injili". Karo karena panggilan utama GIKI adalah mengabarkan injil kepada orang Karo, serta gereja ini merupakan denominasi dari suku Karo. Injili adalah keyakinan teologis yang dianut GIKI.

Pada 29 Oktober 1992 keluar surat pendaftaran dari Kanwil Departemen Agama Provinsi Jawa Barat dengan nomor: Wi/BP.020/Ket/118/1992 yang telah memenuhi syarat rekomendasi minimal 3 gereja yang berkat Pembimas Ardy Rana Yunus yang bersedia mengurusnya, maka hal ini semakin dipermudah. Keluarnya surat ini menandai secara hukum dan undang-undang yang berlaku di negara ini GIKI telah memenuhinya dan diakui secara hukum serta resmi mandiri dalam organisasi yang berdiri sendiri.
           
Dan untuk keberlangsungan pelayanan serta kemandirian, maka disusun AD/ART serta kepengurusan Sinode GIKI sementara. Sementara karena kepengurusan tidak dipilih antara pengurus jemaat yang ada, serta mengenai AD/ART dikemudian akan terus disusun berdasarkan kebutuhan. Walau bersifat sementara, bukan berarti ini tidak berharga, karena dalam komitmen bersama GIKI harus belajar untuk saling menghargai apa yang telah ada tanpa memperdulikan proses pengadaanya. Serta dari awal sudah menjadi komitmen bersama, kalau GIKI akan lebih mengutamakan pelayanan ketimbang aturan birokrasi organisasi gereja. Berikut susunan Pengurus Majelis Sinode GIKI pertama:

Ketua              : Ir. Remedi Peranginangin
Sekretaris        : Pdt. Drs. Edi Suranta Ginting
Bendahara       : Ny. Setianna Br. Sinulingga
Anggota           : Pdt. Drs. Simson Tarigan, M. Pd., M. A.
                          Ny. dr. Veranita Br. Pandia

Majelis Sinode Gereja Injili Karo Indonesia Priode 2010 – 2013

Ketua Umum              :  Pdt. Edi Suranta Ginting
Wakil Ketua Umum      :  Pn. Surya Beny Sebayang
Sekretaris Umum         :  Pdt. Jeremia Sembiring
Wakil Sekretaris           Pdt. Nuahta Tarigan
Bendahara Umum        :  Pn. Jendaarih Peranginangn
Wakil Bendahara          :  Pn. Sudirman Peranginangin

Ketua Bidang Kajian Teologia                  :  Pdt. Aswan Sinulingga
Ketua Bidang Pengembangan Gereja        :  Pdt. B. A. Peranginangin
Ketua Bidang Hubungan Kerja Sama         :  Pn. Damentha Sembiring

Beberapa alamat GIKI

GIKI Jakarta
Perum Taman Duren Sawit, Blok AI No. 3 Duren Sawit, JAKARTA TIMUR.
Telp:  (0821) 8603873

GIKI Bandung
Jl. Dago No. 109, Bandung.
Kontak Pelayanan:  (022) 76428544/ 081395287651/081322160810

GIKI Cimahi
Jl. Gatot Subroto(Gedung SASDIKSUSJUR), Cimahi.
Kontak Pelayanan:  (022) 91609423/081394882842

GIKI Medan(Pd. Bulan)
Jl. Djamin Ginting No. 48 Pd. Bulan(Pokok Mangga), Medan.
Kontak Pelayanan:  081322559522

GIKI Medan(Setiabudi)
Jl. Dr. Setiabudi No. 144, Sei Sikambing B, Medan Sunggal 20122.
Kontak Pelayanan:  (061) 8217770, Fax: (021) 54213561.

GIKI Bandar Baru
Jl. Djamin Ginting No. 74, Desa Bandar Baru, Kec. Sibolangit(20357), Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Kontak Pelayanan:  08153156333/081271134475.

GIKI Sukarame
Desa Sukarame, Kec. Munte, Kab. Karo.
Kontak Pelayanan:  081376827874

GIKI Perbesi
Desa Perbesi, Kec. Tiga Binanga, Kab. Karo.
Kontak Pelayanan: 081376827874

GIKI Kabanjahe
Jl. Perwira No. 5, Gang Leto, Kabanjahe(22111).
Kontak Pelayanan:  (0628) 323219, Fax: (0271) 717812.                                   



Read more: http://arikokena.blogspot.com